Klik Tonton Video Tutorial Nya |
PENERIMAAN PESERTA DIDI BARU MA MIFTAHUL HUDA RAWALO BANYUMAS JAWA TENGAH TAHU PELAJARAN 2024-2025
RINCIAN ADMINISTRASI LIHAT
BROSUR Unduh
Formulir Pendaftaran Klik
Perkembangan Pondok Pesantren Miftahul Huda merupakan serangkaian dari riwayat perjalalanan hidup pengasuhnya. Sampai sekarang Pondok Pesantren Miftahul Huda (PPMH) Rawalo Banyumas cukup berkembang dan terkenal di berbagai pelosok karena kearifan dan ketaatan pengasuhnya, sebagai salah satu pondok pesantren yang membimbing para santri untuk tekun belajar ilmu agama. Oleh karena itu sejarah Miftahul Huda tidak lepas dari sederetan kisah perjalanan hidup pengasuhnya.
Link Buku Panduan
Video Profil |
A. Profil Umum Pondok
Pesantren Miftahul Huda Rawalo Banyumas
Miftahul Huda
merupakan pondok pesantren yang berdiri karena perjalanan seorang kepala desa
yang disegani karena ketegasan dan kedermawanannya, beliau adalah KH. M. Ilyas
Suhardja, atau lebih familiar dengan sebutan Mbah Ilyas. Sebagai
tokoh desa yang sangat disegani dan dermawan, beliau tidak segan-segan mengajak
masyarakatnya untuk melaksanakan sholat lima waktu. Tidak hanya sampai disini,
melalui zakat mal, beliau juga berupaya mengentaskan ekonomi masyarakat sekitar
yang olehnya juga digunakan sebagai media menyebarkan dakwah keislaman. Selain
sebagai tokoh desa, beliau juga dikenal sebagia tokoh agama (Kiai) yang
memiliki cukup banyak santri kalong, dikarenakan warga desa Pesawahan masih
terbilang sangat awam pada agama saat itu. Sedangkan Kiai Muhammad Ilyas
terkenal sebagai tokoh yang dekat dengan para ulama.[1]
KH. Zaeni Ilyas merupakan sosok ulama yang dilahirkan pada tanggal 11 Januari 1932 M, di desa Pesawahan, Rawalo, merupakan putra dari dua kekasih Allah yakni, KH. Muhammad Ilyas dan Ny.Hj. Sholihah, beliau pada saat penjajahan Belanda masih sangat dirasakan oleh penduduk negeri Indonesia.
Kiai Zaeni menempuh Pendidikan formalnya di SD Belanda yang terletak di kecamatan Rawalo selama 6 tahun. Selama iti juga beliau mengkaji kitab kepada ayah beliau yaiutu KH. Muhammad Ilyas seperti kitab Safinah an-Najah, kitab Sulam at-Taufik dan lain-lain. Selanjutnya genap di usianya yang ke 15 tahun atau pada tahun 1947 M, beliau merantau menimba ilmu di pondok pesantren Mafatihul Huda Jampes, Kediri. Beliau berguru pada Syeikh Ikhsan Jampes[1]. Namun berita duka datang dari rumah Ketika Kiai Zaeni baru satu sahun mencari ilmu disana, yang mengabarkan bahwa ibunda dari Kiai Zaeni meninggal dunia sehingga beliau Kembali ke rumah selama beberapa waktu.[2] Singkat cerita, sepulangnya Kiai Zaeni menimba ilmu dari Jampes Kediri, beliau kembali meneruskan menuntut ilmu di pesantren yang berbeda yaitu di pondok pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap, disini beliau berguru kepada Syeikh Badawi Hanafi selama kurang lebih 3 tahun.
Di pesantren Al-Ihya Ulumaddin, kealiman dan keistimewaan beliau sudah terlihat pada saat beliau telah mengkaji dan menghafal alfiyah namun teman sebayanya belum ada satupun yang mencapai alfiyah. Selain itu, oleh guru nahwunya yaitu Kiai Hadi[1], beliau sering diminta untuk membadali[2] Kiai Hadi mengajar kitab kuning ketika sang guru sedang berhalangan. Keistimewaan Kiai Zaeni juga diketahui oleh putra pengasuh yaitu Gus Muhammad Badawi yang kemudian menceritakan kelebihan Kiai Zaeni kepada ayahnya yaitu Syeikh Badawi Hanafi. Setelah mendengar tentang Kiai Zaeni, Syeikh Badawi kemudian memberikan kesempatan langka yaitu belajar langsung kepada Syeikh Badawi Hanafi. Hal ini disebut sebagai kesempatan langka sebab tidak sembarang orang dapat mengaji langsung dengan beliau.[3] Setelah belajar kepada Syekh Badawi Hanafi selama tiga tahun, Kiai Zaeni muda meneruskan perjalanan mondoknya dengan kembali mesantren di pondok pesantren Mafatihul Huda Kediri kepada Syekh Ikhsan. Di pesantren inipun, lagi-lagi kealiman Kiai Zaeni mencuri perhatian para pengasuhnya yang diantaranya adalah beliau langsung diminta untuk ikut menjadi pengajar di pesantren tersebut. Bahkan oleh Gus Muhammad, putra Syekh Ikhsan, KiaiZaeni ditunjuk langsung menjadi lurah[1] pondok. Kiai Zaeni mengabdikan dirinya di pondok Mafatihul Huda selama 5 tahun Kemudian pada tahun 1955 M, beliau melanjutkan mesantren di pondok pesantren Al-Islah Lasem kepada Syekh Masduqi Al-Lasimy.[1] Selain belajar kitab kuning, disana beliau belajar ilmu falak langsung kepada Syekh Masduqi. Selama di Lasem, Kiai Zaeni juga mengaji kilatan puasaan ke Kediri yaitu ngaji pada Kiai Zuweni Nuh di Pare Kediri yang merupakan alumni PP. Tebuireng. Dua kali beliau pergi mengaji kesana hanya untuk mengaji kitab Shohih Bukhori pada kali waktu dan mengaji kitab Shohih Muslim pada waktu lain.[2]
Setelah lima tahun mondok di Lasem, Kiai Zaeni kembali ke pondok pesantren Al-Ihya Ulumaddin dan menutup masa lajangnya disana. Beliau dijodohkan oleh gurunya yaitu Syekh Badawi Hanafi dengan putinya yaitu Nyai Hj. Muttasingah Badawi yang pada saat itu masih berumur 15 tahun.[3] Berbekal keyakinan dan ilmu agama yang sangat kuat yang diperoleh Kiai Muhammad Ilyas dari mesantren seperti Bogangin, Kaliwedi, Palubon Magelang mulailah sosok Kiai Muhammad Ilyas berkiprah menyongsong kemasyarakatan dan dakwah Islamiyah dengan mewujudkannya melalui perhatiannya yang tercurah pada perjuangan kemasyarakatan, dakwah dan pendidikan. Gelar Muhibbin juga disandangkan kepada beliau, hal ini dikarnakan beliau adalah orang yang senang dekat dan bergaul dengan para ulama.[1]
Selain itu, suri tauladan Kiai Muhammad Ilyas dapat kita lihat dari
dorongan dan didikan nyata yang senantiasa diberikan khususnya kepada keluarga,
anak dan cucunya juga kepada masyarakat sepenuhnya tentang pentingnya kebersamaan, gotong royong,
etos kerja, usaha ekonomi dan perdagangan. Terbukti dengan keberadaan pemakaman
desa Pesawahan yang merupakan wujud nyata monumental jasa beliau dan kepedulian
beliau pada saat itu atas kesulitan yang dihadapi masyarakat kaumnya akibat
desanya belum memiliki pemakaman.[2]
Sikap beliau terhadap pesantren dan dakwah adalah
salah satu contoh nyata dan langka pada saat itu. Putra-putri beliau sudah
dikenalkan dan diwajibkan ngaji di pesantren sejak usia dini, beliau mempunyai
kebiasaan memberi bekal (biaya, sangu, uang, beras, kitab) kepada siapa saja yang
hendak menimba ilmu dipesantren bahkan belakangan diketahui banyak tokoh dan
kiai-kiai di Banyumas dan Cilacap yang pernah mendapat bantuan kitab-kitab pada
saat itu ketika sowan menghadap beliau, hal ini adalah demi rasa cintanya
terhadap santri, kiai dan pondok pesantren.[3]
Kiai Muhammad Ilyas
berteman baik pula dengan Syekh Ahmad Badawi Khanafi yakni seorang mursyid dari
Toriqoh Syatariyah Syadziliyah. Hubungan dengan kiai-kiai di daerahnya ia rajut dengan penuh hangat silaturrahim bahkan pada akhirnya
beliau besanan dengan tokoh besar Kiai Agung Syeikh KH. Badowi Hanafi pengasuh
pondok pesantren Kesugihan Cilacap (sekarang PP Al-Ihya
Ulumaddin) untuk utra bungsu beliau Juweni (KH. Zaeni
Ilyas) dinikahkan dengan putri Syeikh yang bernama Muttasingah.[1]
Rupanya pasangan pengantin baru “Zaeni dan Mutasingah” ini merupakan tali sambung dari perjuangan dua tokoh besar (Syeikh Badawi Hanafi dan KH. Zaeni Ilyas Suhardja) untuk melanjutkan dakwah beliau berdua dan menancapkan benih kepesantrenan sebagai basis perjuangannya. Setelah menikah, KH. Zaeni Ilyas belum langsung boyong, baru setelah 3 tahun, yaitu 1963 beliau memboyong istrinya ke desa Pesawahan. Seboyongnya KH. Zaeni Ilyas ke Pesawahan, ada beberapa santri Kesugihan yang kemudian menjadi cikal bakal santri dari pesantren Miftahul Huda kelak.[2]
Dengan izin dan rahmat Allah, didampingi dan diikuti juga oleh beberapa teman-temannya dari pesantren yang ikut serta tinggal di Pesawahan guna melanjutkan belajar mengaji kepada KH. Zaeni Ilyas. Maka segeralah dirintis bersama teman-teman yang telah menjadi santrinya dengan dukungan dan dorongan dari Kiai Muhammad Ilyas hingga kemudian dibangunlah sarana dan prasarana pondok pesantren. Momentum inilah kemudian dijadikan sebagai peringatan Milad Hauliyah berdirinya PP. Miftahul Huda yang peringatannya dibarengi dengan haul KH. Ilyas Suhardja.[1]
Di tengah-tengah masyarakat yang masih sangat kurang
pengetahuan dan keagamaannya atau bisa disebut dengan istilah abangan, Sebagian
masyarakat terbiasa dengan kegemaran nanggap ebeg, lengger, tayub yang
diramekan dengan berjudi, adat kejawen baik dalam hajatan maupun dalam
mengelola pertanian masih kental dilakukan. Sementara sifat keberagamaan
masyarakat yang lainnya bercorak islam priyayi dengan sifat yang pragmatis,
lemah sikap perjuangannya, apriori, apatis terhadap pesantren.[2]
Kiai Zaeni berdakwah dengan mengajak anak-anak
kampung putra dan putri untuk ngaji bersama santri mukim. Hingga lambat laun
ada sekitar 35 anak kampung yang menyatu dengan para santri mukim yang baru ada
sebanyak 15 santri. Sementara anak putri yang ikut mengaji jumlahnya lebih
banyak yaitu mencapai 50 an, dibawah asuhan Ny.Hj. Muttasingah. Pada saat itu
beliau sebagai perintis pengajian santri warga sekitar (santri kalong) dan
dikembangkan dalam muslimat Senin Manisan, keliling muslimat se-kecamatan,
kegiatan pengajian antar mushola se- kecamatan Rawalo dan ssekali mengenalkan
toriqoh.[3]
Diantara santri PP. Miftahul Huda yang pertama
adalah Kiai Adzor’i dari Jawa Timur. Seiring berjalannya waktu, santri-santri
dari KH. Sya’roni pondok Sidmulih secara letak geografis adalah tetangga desa,
banyak yang jolok[1]
ngaji ke KH. Zaeni Ilyas. Diantara santri-santri jolok tersbut ada Prof.
Mubarok, Prof. Wahib Mu’thi Alm. Lambat laun santri dari berbagai daerah datang
untuk ngaji kepada beliau.[2]
Keberadaan tokoh pesantren ini terbukti mempunyai
pengaruh yang cukup besar dalam sosialisasi dakwah dan pengembangan masyarakat,
berupa pengembangan Majlis Ta’lim, organisasi sosial keagamaan seperti NU,
Fatayat, muslimat dan Lembaga pendidikan yaitu dengan berdirinya TK Diponegoro
yang mendapat perlawanan dari tokoh masyarakat desa sebagai imbas saingan
idiologi (NU-PNI) atau islam santri priyayi, karena Sebagian mereka beraliran
PNI yang sedang gencar-gencarnya berkampanye. Tetapi akhirnya TK tersbut
akhirnya berdiri walaupun Ny.Hj. Muttasingah harus beberapa kali menghadap ke
kabupaten, dan terus berkembang sampai tingkat perguruan tinggi, Adapun nama
Lembaga pendidikan formalnya adalah:[3]
Kitab Umniyah al-Abna>’ 3. Kitab Jurumiyah Jawa
Pondok Pesantren Miftahul Huda Pesawahan dalam
sejarahnya merupakan bagian dari mata rantai dakwah dan penyebaran ajaran agama
Islam di wilayah Selatan pulau Jawa. Hal ini dapat kita cermati dari alur
penyebaran pertumbuhan pesantren-pesantren dari daerah
Mataram-Purworejo-Kebumen ke barat sampai daerah Timur Selatan Jawa Barat.
Banyak dijumpai pesantren-pesantren yang tumbuh
dengan alur sililah yang bertemu pada berbagai titik bersingggungan pada
riwayat penyebaran dakwah Islam di wilayah ini. Desa Pesawahan merupakan sebuah
desa berbentuk segi panjang yang dikeliligi oleh sawah dari segala penjuru
arah, berjarak 2 Kilometer
dari kecamatan Rawalo.
Jadwal aktivitas harian santri di pondok pesantren
Miftahul Huda Rawalo Banyumas adalah sebagai berikut:
Tabel 2.
Aktivitas Harian Santri
Jam |
Kegiatan |
03.30 – 05.30 WIB |
Bangun
tidur, sholat sunnah tahajjud, tadarus Al-Qur’an, sholat sunnah qobliyah
subuh, dilanjutkan dengan sholat suuh berjama’ah dan wiridan. |
05.30 – 06.30 WIB |
Mengaji
Al-Qur’an baik bi al-nadri atau bi al-ghoib (bagi santri
huffadz), serta ngaji bandongan kitab kuning, yakni kitab Mabadi fiqih,
kitab Fathul Mu’in, dan kitab Tadzhib wa Tadzhib. |
06.30 – 12.00 WIB |
Mandi,
sarapan, kegiatan belajar mengajar pagi di kelas bagi pelajar (sekolah). |
12.00 – 12.30 WIB |
Istirahat,
sholat, makan. |
12.30 – 13.30 WIB |
Kegiatan
belajar mengajar siang di kelas (sekolah) |
13.30 – 15.30 WIB |
Istirahat. |
15.30 – 16.30 WIB |
Sholat
ashar berjama’ah dan pembacaan surat Al-Waqi’ah di mushola. |
16.30 – 17.30 WIB |
Kegiatan
belajar mengajar di kelas (ngaji sore) kitab karangan simbah bagi santri baru
yaitu, Kitab Cawang Iman, Kitab Niat Ingsun Ngaji dan Kitab Jurumiyah Jawa
serta ngaji Tajwid. Sedangkan
bagi santri lawas ngaji kitab kuning Ta’lim Muta’alim dan Kitab
Taisirul Kholaq. |
17.30 – 18.00 WIB |
Istirahat
dan makan sore. |
18.00 – 18.30 WIB |
Sholat
Maghrib berjama’ah dan wiridan serta pembacaan surat Yaasin di mushola. |
18.30 – 19.50 WIB |
Mengaji
Al-Qur’an baik bi an-Nadri maupun bi al-Khifdzi (setoran
hafalan Al-Qur’an atau deresan Al-Qur’an) |
19.50 – 21.30 WIB |
Kegiatan
belajar mengajar di kelas Madrasah Diniyah. |
21.30 – 22.00 WIB |
Sholat
isya. |
22.00 – 23.00 WIB |
Kegiatan
ekstra santri. Biasanya diisi dengan inisiatif santri sendiri, misalnya
tadarus Al-Qur’an atau nadhoman. |
23.00 – 03.00 WIB |
Tidur/
istirahat di kamar masing-masing. |
Jadwal aktivitas harian santri di pondok pesantren
Miftahul Huda Rawalo Banyumas adalah sebagai berikut:
Tabel 3.
Aktivitas Mingguan Santri
No. |
Jenis Kegiatan |
Hari/Waktu |
Tempat |
1. |
Selasahan,
kajian kitab. |
Senin,
malam Selasa, setelah sholat maghrib berjama’ah. |
Masjid
bagi santri putra dan Mushola pusat bagi santri putri. |
2. |
Sholat
Tasbih. |
Kamis
malam Jum’at. |
Mushola. |
3. |
Pembacaan
sholawat al-Barzanji dan khitobah. |
Kamis,
malam Jum’at. |
Aula. |
4. |
Tahlil
bersama. |
Jum’at
pagi dan sore. |
Area
makam si Mbah Zaeni Ilyas. |
5. |
Sema’an
juz ‘amma dan Al-Qur’an. |
Minggu
pagi. |
Mushola
dan Area makam si Mbah Zaeni Ilyas (bagi santri huffadz) |
6. |
Roan
Mingguan. |
Minggu
setelah kegitan sema’an selesai. |
Pondok
pesantren Miftahul Huda. |
Jadwal aktivitas tahunan santri di pondok pesantren
Miftahul Huda Rawalo Banyumas adalah sebagai berikut:
Tabel 4.
Aktivitas Tahunan Santri
No. |
Jenis Kegiatan |
Waktu |
Tempat |
1. |
Haul
Muassis Ma’had |
27
Rajab |
Pondok
Pesantren Miftahul Huda |
2. |
Imtihan/
Akhirussanah |
Akhir
tahun ajaran |
Pondok
Pesantren Miftahul Huda |
3. |
Ziaroh
Kubur |
Setiap
bulan Rajab |
|
Kegiatan tambahan santri biasanya akan diisi dengan
acara-acara yang berkenaan dengan bulan-bulan penting Hijriyah. Misalnya dengan
mengadakan pengajian setiap bulannya, seperti pada peringatan bulan Muharrom
atau tahun baru hijriyah, bulan Rabi’ul Awwal, Rajab, dan masih banyak lagi
yang lainnya. Sedangkan untuk peringatan hari nasional sendiri Miftahul Huda
juga akan memeriahkannya dengan kegiatan lomba-lomba bagi santri. Disanping
pengajian, kegiatan ini biasanya diselingi dengan istighosah atau do’a bersama.
Seperti kegiatan dalam rangka “Menolak Lupa Pahlawan Revolusi” pada tanggal 30 September 2021,
pengurus pondok pesantren Miftahul Huda mengadakan acara nonton bareng film
G30SPKI bersama seluruh santri Miftahul Huda. Tujuannya ialah mengingat sejarah
bukti bhakti dharma para panglima jendral atas kemerdekaan Indonesia,
perjuangan dan semangat membela negara Indonesia. Kegiatan ini tentunya sangat
membangun semangat santri, karena jarang sekali acara seperti ini diadakan di
Miftahul Huda. Paling sering setahun sekali atau dua kali.[1]
Mengingat banyaknya kegiatan santri, berikut diatas
adalah sebagian besar kegiatan umum dan rutinan santri yang sudah sangat mengakar
dan menjadi ciri khas santri Miftahul Huda yang tidak bisa lagi ditinggalkan
ataupun dilewatkan.