Sejarah Singkat Hari Pahlawan 10 November: Pertempuran Dijuluki 'Neraka'
Pertempuran di Surabaya pada tahun 1945 dijuluki 'neraka'. Hal itu disebabkan kerugian yang tidak sedikit. Pertempuran itu menyebabkan 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, di mana sebagian dari mereka adalah warga sipil.
Sedangkan 150.000 orang terpaksa meninggalkan Surabaya dan ada 1.600 prajurit Inggris yang tewas, hilang dan luka-luka. Pertempuran itu juga menyebabkan puluhan alat perang rusak dan hancur. Karena rakyat Surabaya memiliki sikap pantang menyerah dan semangat, Inggris merasa 'terpanggang di neraka'.
Sejak saat itulah, setiap tahunnya 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Kota Surabaya pun menjadi saksi bisu sejarah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Dalam momen sejarah singkat Hari Pahlawan 10 November, berikut empat Pahlawan Nasional yang memiliki andil dalam pertempuran di Surabaya.
- KH. Hasyim Asj'ari
- Gubernur Surjo
- Bung Tomo
- Moestopo
Perlu dipahami, bahwa konflik yang melibatkan rakyat Surabaya dengan Inggris ini bermula ketika pada 29 September 1945 pasukan Inggris menerima kenyataan pahit dengan tewasnya Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Pukulan berat bagi Inggris, kala itu, bahwa dalam catatan sejarah keikutsertaannya dalam front peperangan baik di Perang Dunia 1 dan 2, Inggris tidak pernah kehilangan seorang Jenderal.
Namun di Surabaya, sebuah kota yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya, justru Inggris kehilangan seorang Jenderal yang nilainya setara dengan 1.000 prajurit biasa. Atas dasar inilah Inggris meminta rakyat Surabaya untuk menyerah dan bertanggung jawab atas kematian Brigadir Jendral Mallaby. Namun, ternyata apa yang dikiranya Inggris akan mudah menaklukan Surabaya, ternyata berubah menjadi petaka bagi pasukan Inggris tersebut.
Petaka itu terjadi karena ternyata Inggris bukannya menghadapi sekumpulan rakyat biasa yang lemah dan tak berdaya. Rakyat Surabaya ternyata memberikan perlawanan hebat bagi tentara Inggris, mekipun secara persenjataan dan hitung-hitungan rasional antara terjadi ketidakseimbangan diantara keduanya.
Namun, hal itu, tidak menyurutkan tekad bulat serta niat rakyat Surabaya melawan sebuah tindakan imperialism yang akan dilakukan sekutu untuk memenuhi ambisi Belanda guna kembali menancapkan kukunya di wilayah Indonesia yang sudah merdeka itu. Apa yang menyebabkan besarnya perlawanan tersebut? Padahal, hanya bermodalkan senjata adanya serta keinginan untuk merdeka saja. Jawabannya hanya satu yakni keyakinan iman yang dimiliki oleh sanubarinya rakyat Surabaya itu.
Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945, sangatlah penting karena dari sinilah semangat umat Islam melawan penjajahan itu terbentuk, sebagai rasa cinta Tanah Air mereka. Adanya semangat bela negara serta bangsa ini, menunjukkan satu tekad kuat sebagai keyakinan mental yang tidak dapat dikalahkan, yang kemudian memberikan pengaruh begitu besar bagi perjuangan kemerdekaan itu sendiri.
Resolusi jihad ini menekankan pentingnya umat Islam, kala itu, melawan segala bentuk imperialisme, kolonialisme yang akan kembali menguasi Indonesia. Wajib hukumnya bagi setiap umat Islam di seluruh penjuru Indonesia, kala itu, untuk bahu membahu berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena, resolusi jihad ini yang merupakan itjtihad dari para ulama, pada waktu itu, yang mengatakan Hubbul Wathan Minal Iman, artinya “Mencintai Tanah Air Merupakan Sebagian Dari Iman”. Karena sudah sewajarnya negara Indonesia dengan penduduk mayoritas memeluk agama Islam, harus diselematkan dari upaya-upaya penindasan yang dilakukan oleh pihak kolonial pada masa itu.
Jelas di sini bahwa semangat menjalankan syariat keagamaan serta mencintai Tanah Air bukanlah dua hal yang bertentangan. Islam dan Nasionalisme menjadi satu napas yang mewarnai dinamika, romantika, serta dialektika revolusi kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Kecintaan pada Tanah Air itu membuat bagaimana semangat perjuangan melawan imperialisme Inggris berjalan beriiringan dengan untuk menjalankan kewajiban keagamaan, dengan pemahaman bahwa apabila gugur di medan perang, maka para pejuang-pejuang Indonesia ini dapat dikatakan sebagai Syuhada’ (orang-orang yang meninggal pada jalan Allah/ Jihad Fisabillah).
Ini terbukti bahwa Islam tidak hanya menjadi semangat satu golongan saja. Nilai-nilai Islam kemudian memberikan semangat serta penyadaran bagi berbagai pihak bahwa kemerdekaan tidak hanya semata-mata turun dari langit, tapi juga diusahakan melalui sebuah perjuangan yang memakan korban baik nyawa maupun harta benda.
Oleh karenanya, peringatan Hari Pahlawan pada 10 November semata-mata tidak hanya dilewati sebagai seremonial semata. Namun, perlu dimaknai sebagai bagian sejarah yang tidak terlepaskan dari perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Bagi umat Islam sendiri perdebatan tentang negara dan bangsa sejatinya sudah final ketika kita tahu peristiwa 10 November sendiri menunjukkan bahwa Islam telah menjadi rahmat, tidak hanya bagi pemeluknya, tetapi bagi seluruh umat manusia terutamanya bangsa dan negara Indonesia.
Sejarah membuktikkan bahwa Islam tidak diterapkan pada sebuah ideologi tertutup dan saklek, namun mampu mengakomodasi berbagai golongan dan unsur-unsur yang berbeda. Jawaban itu hadir pada resolusi jihad tahun 1945 dengan memberikan dampak pada seluruh rakyat Indonesia, kala itu, untuk berjuang bersama melawan imperialisme dan kolonialisme.
Umat Islam di Indonesia, hari ini, harus menjadi satu kesatuan memberikan dampak positif terhadap arah tujuan negara bangsa. Islam harus memberikan kesejukan bagi setiap kehidupan bangsa. Seperti halnya di masa lalu Islam mampu memberikan warna serta pengaruh besar bagi kemerdekaan Indonesia. Maka, peran hari ini umat Islam juga harus tetap memberikan pengaruh bagi perkembangan Indonesia guna mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 45 menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sentosa.
Suber Artikel
https://www.republika.co.id/berita/oz58to396/islam-nasionalisme-dan-hari-pahlawan